Ketika berkenalan dengan seorang dari Zambia, Afrika, karena mengetahui
saya dari Indonesia, ia kemudian bertanya, “Do you speak Dutch?” “No,
why should I speak Dutch” saya jawab. “I speak Bahasa,” saya tambahkan
lagi. Loh, kan Indonesia dijajah Belanda ratusan tahun, kok
Bahasa Belanda tidak menjadi Bahasa nasional. “Itulah hebatnya
Indonesia,” saya berbangga. “Sisa-sisa kolonialisme sudah kami buang
semua. Kami tak ingin punya keterikatan dengan bangsa yang pernah
menjajah kami,” tegas saya lagi.
Memang
persoalan bahasa seperti ini jadi 'agak' aneh di Benua Afrika. Sejarah
kolonialisme masih meninggalkan bekas, paling tidak bahasa. Banyak
negara jajahan Inggris, semisal Afrika Selatan, Zimbabwe dan Zambia,
menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Jajahan Perancis,
semacam Pantai Gading dan Mali, menjadikan Bahasa Perancis sebagai
bahasa kenegaraan. Atau Mozambique yang berbahasa Portugis. Sebagian
lagi di Afrika bagian utara berbahasa Arab sebagai imbas dari perluasan
kekhalifahan Islam abad pertengahan.
Ketika merdeka, Timor Leste
juga mengalami masalah bahasa yang pelik. Ketika mereka menjadikan
Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi, masalah tak selesai begitu saja.
Waktu menjadi bagian dari Indonesia, sebagian besar generasi muda mereka
tak mengenal lagi Bahasa Portugis yang dikuasai oleh orang-orang
seangkatan Ramos Horta. Alhasil, dokumen resmi di Timor Leste, saat ini
dibuat dalam 4 bahasa: Tetum, Indonesia, Portugis dan Inggris.
Ternyata
bahasa bisa saling membunuh. Globalisasi bahasa ditenggarai menjadi
ancaman bahasa-bahasa lokal. Hasil riset menunjukkan ada banyak bahasa
lokal dunia yang telah punah atau terancam punah. Bahasa Indonesia pun
tak terhindari juga melakukannya. Ada banyak bahasa daerah yang terancam
punah, terutama yang digunakan hanya oleh komunitas kecil.
Bengkulu
pun tak urung juga setidaknya mengalami masalah serupa. Kita beruntung
memiliki Bahasa Melayu Bengkulu, yang entah bagaimana asalnya dipakai
sebagai lingua franca secara umum di provinsi ini. Namun tak urung lingua franca
lokal ini juga sedikit banyak mempengaruhi eksistensi bahasa-bahasa
lokal lainnya. Kepahiang dan Curup, misalnya, yang sebenarnya merupakan
salah satu Kota Rejang tak menjadikan Bahasa Rejang sebagai bahasa
percakapan ‘pasaran’.
Mungkin ini terlalu menggeneralisasi
keadaan. Namun, saya yakin ada pergeseran-pergeseran yang tak mungkin
terhindari. Ini kemudian berimbas pada kemampuan generasi selanjutnya
mewarisi kekayaan khazanah intelektual kebahasaan yang dimiliki suku
tertentu.
Akulturasi budaya memang hal yang tak terhindari.
Pernikahan dua orang dari suku dengan dua bahasa berbeda saja melahirkan
kompromi terhadap ‘bahasa resmi’ yang akan dipakai dalam komunikasi
keluarga. Keluarga saya mengalami hal seperti ini. Bak yang Rejang dan Mak
yang dari Suku Serawai sepertinya membutuhkan komitmen tertentu dalam
berbahasa. Namun, apakah sebuah keputusan yang dibicarakan atau hanya
bersifat alami, akhirnya Bak dan Mak
memutuskan membuat variasi. Dari enam anaknya, tiga yang tertua
berbahasa Rejang sebagai bahasa pengantar komunikasi di rumah. Sedangkan
tiga yang kecil, termasuk saya, menggunakan ‘Bahasa Bengkulu pasaran’
sebagai pengantar berkomunikasi dengan orang tua.
Saya bisa
berbahasa Rejang sangat lancar, demikian juga Bahasa Serawai. Namun,
entah mengapa, saya merasa ‘kadar ke-Rejang-an’ saya tidaklah seperti
tiga kakak tertua saya yang memang berbahasa Rejang sebagai pengantar.
‘Kadar ke-Serawai-an’ kami pun cuma terasa ketika berkumpul dengan
saudara dari pihak ibu.
Disini saya menyetujui hipotesis bahwa
bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun lebih jauh lagi ia adalah
identitas. Bahasa menunjukkan struktur pikiran masyarakat dan
perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri. Ketika saya tak diajak
berkomunikasi dalam Bahasa Rejang oleh bapak, maka sesungguhnya
‘identitas ke-Rejang-an’ juga tak menurun alami dan total ke diri saya.
Jika menginginkan identitas tersebut, saya harus menemukannya sendiri.
Inilah juga yang saya simpulkan ketika mendengarkan Puan Maharani, putri
Megawati, yang mencoba ber-ambo-ambo ketika berkampanye untuk ibunya di tahun 2004. Tapi, rasanya kok kurang membumi ke-Bengkulu-annya.
Ini
pun bukan hanya masalah internal, tapi juga eksternal. Secara
subjektif, komunitas saudara Rejang saya lebih mengakui ke-Rejang-an
kakak saya daripada saya. Memang tak secara langsung, namun dapat
dirasakan, walaupun saya berbahasa Rejang dengan mereka. Namun, ada sisi
positifnya: perasaan entitas Bengkulu sebagai sebuah agregat bisa lebih
dimaknai.
Maka, perjuangan menyelamatkan bahasa-bahasa lokal,
menurut saya, bukanlah sebuah perjuangan sederhana. Lebih jaub dari itu,
ini merupakan perjuangan penyelamatan identitas. Penurunan
bahasa-bahasa suku setidaknya merupakan bagian penting dari pengikatan
secara maknawi generasi selanjutnya. Walaupun, ditengah-tengah arus
globalisasi saat ini, seakan terasa 'jadul' (out of dated)
menurunkan bahasa primordial kepada anak. Namun itulah tantangannya:
menjadi warga Indonesia dan dunia tanpa kehilangan akar primordial.
Ini
hanya sebuah pandangan subjektif, termasuk pilihan menggunakan Bahasa
Indonesia, bukan Malayu Bengkulu, sebagai pengantar posting. Cak mano kecek sanak galonyo?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar