Jumat, 05 Juli 2013

SIMPANG LIMO BENGKULU

Ketika berkenalan dengan seorang dari Zambia, Afrika, karena mengetahui saya dari Indonesia, ia kemudian bertanya, “Do you speak Dutch?” “No, why should I speak Dutch” saya jawab. “I speak Bahasa,” saya tambahkan lagi. Loh, kan Indonesia dijajah Belanda ratusan tahun, kok Bahasa Belanda tidak menjadi Bahasa nasional. “Itulah hebatnya Indonesia,” saya berbangga. “Sisa-sisa kolonialisme sudah kami buang semua. Kami tak ingin punya keterikatan dengan bangsa yang pernah menjajah kami,” tegas saya lagi.


Memang persoalan bahasa seperti ini jadi 'agak' aneh di Benua Afrika. Sejarah kolonialisme masih meninggalkan bekas, paling tidak bahasa. Banyak negara jajahan Inggris, semisal Afrika Selatan, Zimbabwe dan Zambia, menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Jajahan Perancis, semacam Pantai Gading dan Mali, menjadikan Bahasa Perancis sebagai bahasa kenegaraan. Atau Mozambique yang berbahasa Portugis. Sebagian lagi di Afrika bagian utara berbahasa Arab sebagai imbas dari perluasan kekhalifahan Islam abad pertengahan.

Ketika merdeka, Timor Leste juga mengalami masalah bahasa yang pelik. Ketika mereka menjadikan Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi, masalah tak selesai begitu saja. Waktu menjadi bagian dari Indonesia, sebagian besar generasi muda mereka tak mengenal lagi Bahasa Portugis yang dikuasai oleh orang-orang seangkatan Ramos Horta. Alhasil, dokumen resmi di Timor Leste, saat ini dibuat dalam 4 bahasa: Tetum, Indonesia, Portugis dan Inggris.

Ternyata bahasa bisa saling membunuh. Globalisasi bahasa ditenggarai menjadi ancaman bahasa-bahasa lokal. Hasil riset menunjukkan ada banyak bahasa lokal dunia yang telah punah atau terancam punah. Bahasa Indonesia pun tak terhindari juga melakukannya. Ada banyak bahasa daerah yang terancam punah, terutama yang digunakan hanya oleh komunitas kecil.

Bengkulu pun tak urung juga setidaknya mengalami masalah serupa. Kita beruntung memiliki Bahasa Melayu Bengkulu, yang entah bagaimana asalnya dipakai sebagai lingua franca secara umum di provinsi ini. Namun tak urung lingua franca lokal ini juga sedikit banyak mempengaruhi eksistensi bahasa-bahasa lokal lainnya. Kepahiang dan Curup, misalnya, yang sebenarnya merupakan salah satu Kota Rejang tak menjadikan Bahasa Rejang sebagai bahasa percakapan ‘pasaran’.

Mungkin ini terlalu menggeneralisasi keadaan. Namun, saya yakin ada pergeseran-pergeseran yang tak mungkin terhindari. Ini kemudian berimbas pada kemampuan generasi selanjutnya mewarisi kekayaan khazanah intelektual kebahasaan yang dimiliki suku tertentu.

Akulturasi budaya memang hal yang tak terhindari. Pernikahan dua orang dari suku dengan dua bahasa berbeda saja melahirkan kompromi terhadap ‘bahasa resmi’ yang akan dipakai dalam komunikasi keluarga. Keluarga saya mengalami hal seperti ini. Bak yang Rejang dan Mak yang dari Suku Serawai sepertinya membutuhkan komitmen tertentu dalam berbahasa. Namun, apakah sebuah keputusan yang dibicarakan atau hanya bersifat alami, akhirnya Bak dan Mak memutuskan membuat variasi. Dari enam anaknya, tiga yang tertua berbahasa Rejang sebagai bahasa pengantar komunikasi di rumah. Sedangkan tiga yang kecil, termasuk saya, menggunakan ‘Bahasa Bengkulu pasaran’ sebagai pengantar berkomunikasi dengan orang tua.

Saya bisa berbahasa Rejang sangat lancar, demikian juga Bahasa Serawai. Namun, entah mengapa, saya merasa ‘kadar ke-Rejang-an’ saya tidaklah seperti tiga kakak tertua saya yang memang berbahasa Rejang sebagai pengantar. ‘Kadar ke-Serawai-an’ kami pun cuma terasa ketika berkumpul dengan saudara dari pihak ibu.

Disini saya menyetujui hipotesis bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun lebih jauh lagi ia adalah identitas. Bahasa menunjukkan struktur pikiran masyarakat dan perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri. Ketika saya tak diajak berkomunikasi dalam Bahasa Rejang oleh bapak, maka sesungguhnya ‘identitas ke-Rejang-an’ juga tak menurun alami dan total ke diri saya. Jika menginginkan identitas tersebut, saya harus menemukannya sendiri. Inilah juga yang saya simpulkan ketika mendengarkan Puan Maharani, putri Megawati, yang mencoba ber-ambo-ambo ketika berkampanye untuk ibunya di tahun 2004. Tapi, rasanya kok kurang membumi ke-Bengkulu-annya.

Ini pun bukan hanya masalah internal, tapi juga eksternal. Secara subjektif, komunitas saudara Rejang saya lebih mengakui ke-Rejang-an kakak saya daripada saya. Memang tak secara langsung, namun dapat dirasakan, walaupun saya berbahasa Rejang dengan mereka. Namun, ada sisi positifnya: perasaan entitas Bengkulu sebagai sebuah agregat bisa lebih dimaknai.

Maka, perjuangan menyelamatkan bahasa-bahasa lokal, menurut saya, bukanlah sebuah perjuangan sederhana. Lebih jaub dari itu, ini merupakan perjuangan penyelamatan identitas. Penurunan bahasa-bahasa suku setidaknya merupakan bagian penting dari pengikatan secara maknawi generasi selanjutnya. Walaupun, ditengah-tengah arus globalisasi saat ini, seakan terasa 'jadul' (out of dated) menurunkan bahasa primordial kepada anak. Namun itulah tantangannya: menjadi warga Indonesia dan dunia tanpa kehilangan akar primordial.

Ini hanya sebuah pandangan subjektif, termasuk pilihan menggunakan Bahasa Indonesia, bukan Malayu Bengkulu, sebagai pengantar posting. Cak mano kecek sanak galonyo?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar